Jumat, 28 September 2012

TAQWA



Seminggu sekali Sang Khotib selalu mengingatkan kita dengan kalimat, “Ittaqullaha haqqatuqaatih.. Bertaqwalah kepada Allah dengan sungguh-sungguh, Walaa tamuutunna illaa  wa antum muslimuun….   Jangan sekali-kali kalian mati kecuali dalam keadaan Islam. (Al Imran:102)

Pesan ini sudah ada sejak zaman Nabi Yaqub AS untuk anak keturunannya (Bani Israil) sekitar 4000 tahun yang lalu. 2500 tahun Kemudian Rasulullah SAW mengabadikannya sebagai kalimat peringatan bagi umatnya  di setiap khutbah jumat.

Statement taqwa ini Puluhan kali disebutkan dalam Al-Quran dengan kalimat ....Wa atii’ullaaha wa’atiiurrasuul,. Taatilah Allah dan Rasulnya. Namun situasinya sering tidak semudah definisinya. Nyatanya masih banyak yang tidak taat, atau mungkin tidak tahu.

MENGKAJI ARTI TAKWA




Mengapa TAQWA ini jadi begitu penting? Sampai-sampai harus disampaikan setiap minggu? Dari sinilah terlihat kasih sayang Allah terhadap hambanya. Allah tidak ingin dan kasihan jika makhluk kesayangannya ini sampai masuk neraka. Karena Allah tahu mereka tidak akan sanggup.

Allah ingin jika perlu semua hambanya masuk surga, maka dari itu setiap hari jum’at selalu diingatkan. Diingatkan dari apa? Apa yang kita lupa?                   Kita suka lupa akan negeri kita yang sebenarnya. Supaya bukan urusan dunia saja yang kita pikirkan. Supaya kita paham mana yang lebih penting. Dunia atau Akhirat?

Kejarlah akhirat, tapi dunia jangan dilupakan. Adalah keliru jika kita mengikuti paham : “Silahkan mengejar dunia, tapi akhirat jangan dilupakan.” Siapa yang bilang seperti ini maka ingatkan. Tidak terima? Tinggalkan. Tidak ada dalam Al-quran dimana Allah memerintahkan untuk berkompetisi dalam urusan dunia dulu. Yang ada Akhirat dulu.

(Al Qasas:77) à Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi ……………..

Al Mutaffifin: 22-26 à Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam kenikmatan yang besar (surga), mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan mereka yang penuh kenikmatan. Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya), laknya adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.

Oleh karena itu, mari kita Tanya diri sendiri apakah kita sudah bertaqwa? Jika merasa sudah, maka cek lagi apakah sudah Haqqa tuqatih? Apakah sudah sungguh-sungguh dan sebenar-benarnya? Karena kemungkinan besar Taqwa kita belum sungguh-sungguh, baru setengah-setangah, atau bahkan palsu, tidak sebenar-benarnya.

Taqwa bukan sekedar shalat, puasa, zakat. Untuk urusan ini banyak yang sudah taat, namun dalam lain, perilaku, bergaul, bekerja, bernegara, bisa jadi belum. Mulai dari hal yang dianggap sepele, tidak jarang kita masih minum sambil berdiri, makan dengan tangan kiri, memakai cincin emas, kalung emas, pergi keluar rumah memakai celana pendek di atas lutut, dsb.

Belum lagi di segi bernegara, di sekolah negeri diajarkan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat. Bukankan setiap selesai shalat kita selalu mengucap  Laailahaillahu wahdahula syarikalah …….  Kedaulatan hanya ada di tangan Allah, Dia yang berkuasa atas segala sesuatu. Di segi hukum masih berpegang dengan KUHP peninggalan penjajah Belanda. 

Yang lebih berat lagi di segi ekonomi. Sanggupkah kita tidak meminjam uang di Bank? Maka kata Allah: “Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian…” (At Taghaabun: 16) Ayat ini memerintahkan kita untuk berjuang semaksimal mungkin dalam bertakwa kepada Allah SWT. Sanggup atau tidak sanggup, kita ukur sendiri kadar ketaqwaan kita kepada Allah.

Semua yang dilarang Allah dan Rasulullah, maka bagi yang masih mengerjakan usahakan segera tinggalkan, yang tidak mengerjakan, usahakan hindari dan jauhi. Baru setelah itu ikuti sunnah-sunnah lainnya.

Jadikanlah budaya keluarga kita adalah budaya Islam. Perilaku orang tua sangat dominan dalam mempengaruhi perilaku istri dan anak-anaknya. Kebiasaan yang tidak baik jika dipertahankan selama bertahun-tahun, maka akan menjadi sebuah budaya yang sulit ditinggalkan.

Ah..  Nabi mah orang Arab, kita kan orang Indonesia?

Syari’at Islam bukanlah budaya Arab, melainkan diajarkan langsung oleh Allah melalui Rasulnya untuk kebaikan seluruh manusia di Bumi. Maka katakanlah “Kita orang Muslim, kami punya cara seperti ini…, bukan cara suku A atau suku B, kelas A atau kelas B, bangsa A atau bangsa B.

Mungkin dalam hal perilaku dan tata cara ibadah, masih dengan cara di luar tuntunan Rasulullah. Maka segera luruskan.

“Ah..  yang diajarkan guru saya tidak begitu …”

Tradisi keluarga yang turun temurun, tradisi setempat, atau ajaran dari guru, selama tata cara tersebut tidak sesuai sunnah, maka jangan ambil resiko untuk menjadikannya sebuah sunnah baru.



SESAJIAN BAGI ROH LELUHUR, VALENTINAN, TUKAR CINCIN,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang (kaum lelaki) memakai cincin emas (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad)

TIUP LILIN, TAHUN BARUAN, STANDING PARTY, MENCUKUR ALIS, dsb.

Tahukah saudara bahwa tradisi ini merupakan warisan dari orang nasrani. Kaum muslimin dilarang mengikuti kebiasaan dan tradisi orang kafir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang meniru kebiasaan satu kaum maka dia adalah bagian dari kaum tersebut.” (HR. Abu Daud, Baihaqi, dan Ibnu Abi Syaibah; dinilai sahih oleh Al-Albani).

Setiap manusia punya masalah. Tidak mungkin tidak, bedannya ada pada cara menghadapinya. Anak usia remaja punya masalah dengan pergaulannya, keluarga muda bermasalah dengan tekanan ekonomi atau keharmonisan rumah tangganya, Yang sudah setengah baya bermasalah dengan anak-anaknya, yang sudah tua bermasalah dengan kesehatannya.

Kata Imam Muslim: Urusan orang yang beriman itu sungguh indah…  kala senang ia bersyukur, kala susah ia bersabar, semuanya adalah kebaikan.

Memang masing masing punya titik kelemahan. Harta, tahta, wanita masih menjadi alasan klasik untuk seseorang berbuat dosa. Makhluk yang disebut setan memainkan perannya. Ia menggoda dengan cara membisikkan ide dalam hati manusia yang dalam kondisi labil, bingung apa yang harus dilakukan. Saat menghadapi pilihan, ia digoda agar memilih jalan yang salah. Yang banyak pengetahuan terkadang masih bisa tersesat apalagi yang belum.  

Ketika kurang harta, setan memberi ide manis untuk mencuri, menipu, berjudi atau berriba. Setan membisikkan kata “lumayan”. Lumayan buat beli ini dan beli itu. Akhirnya ketagihan dan susah lepas dari perbuatan buruknya itu. Ketika banyak harta, ia digoda agar “main perempuan” tamak dan haus kekuasaan sehingga bisa berbuat sewenang-wenang.

Secara halus tanpa kita sadari Setan membisikkan ide ke perbuatan mengkufuri nikmat rejeki yang telah Allah berikan. Parahnya jika kita sudah mengkufuri nikmat terbesar dalam hidup ini, apa itu? Hidup itu sendiri. Anugerah terbesar yang diberikan Allah. Dengan umur / waktu ini mestinya kita gunakan semaksimal mungkin untuk beribadah kepada Allah, menanam benih-benih kebaikan yang buahnya bisa kita petik di akhirat kelak.

Ada kalanya hidup tidak berjalan sesuai harapan. Jangan menaggapinya dengan putus asa sambil berkata, “lebih baik aku mati saja dari pada hidup seperti ini..” atau “aku tidak minta dilahirkan di dunia ini”

this is so stupid thinking. Apa kalau sudah mati masalahnya akan selesai lalu tinggal di tempat baru yang lebih enak? Come on…  Berapa banyak yang sudah membunuh dirinya sendiri karena telah berpikiran bodoh semacam ini?

Siapa yang mau susah? Siapa yang tidak mau hidup enak, bahagia dan tenang tanpa ada masalah yang berarti, uangnya banyak, badannya sehat, keluarganya baik. Ok..  lets say kita punya segudang harta, tapi kenapa masih banyak orang yang menzalimi dirinya sendiri dengan hartanya itu? This is non sense. Hidup adalah ladang penderitaan, tidak bisa memilih yang enak-enak saja. Kesusahan dan Kebahagiaan Ini sudah menjadi Sunnatullah..  Toh tidak serius, kata Allah hidup ini cuma main-main saja kok, hanya senda gurau.  Don’t take it serious.

Sesungguhnya kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk kami menguji mereka siapakah diantaranya yang terbaik perbuatannya” (Q.S al Kahfi  : 7)

“Apakah mereka mengira bahwa mereka akan di biarkan hanya dengan mengatakan “kami telah beriman” dan mereka tidak di uji? Dan sungguh, kami telah menguji orang – orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang – orang yang benar dan pasti mengetahui orang – orang yang dusta” (Q.S Al Ankabut 2- 3)

Disini pentingnya buku petunjuk Al-Qur’an, diturunkan satu paket disertai contoh hidup dari seseorang yang patut dijadikan teladan yakni Rasulullah SAW. Di dalamnya sudah ada panduan apa yang harus dilakukan jika sedang menghadapi kesulitan dan apa yang harus dilakukan ketika berkecukupan.

Mereka yang asing dengan Al quran dan hadits akan mencari jalan keluar dari masalahnya dengan cara lain. Mereka yang tinggal di pedesaan biasanya pergi ke orang pintar atau paranormal atau dukun. Ada yang disuruh mandi kembang, ada yang disuruh simpan jimat, ambil tanah kuburan. Macem-macem, solusinya instant tapi menyesatkan.

Mereka yang di kota pergi ke Psikiater, lalu oleh si psikiater dihipnotis. Atau ke Gramedia cari buku karangan penulis terkenal seperti Dale Carnegie, Stephen Covey, atau Robert Kiyosaki. Sehingga jika kita Tanya mereka soal dunia, mereka kemukakan segudang argumentasi sesuai dengan referensi yang dia baca, atau dia dengar dalam seminar.

Padahal kita sebagai muslim punya buku panduan sendiri yang namanya Al Quran dan Sunnah. Sudahkah kita mempelajarinya? Tidak patut kita membanggakan buku-buku karya manusia sementara kitab yang telah dijamin kebenarannya, kita kesampingkan. Jadikan Al Quran sebagai buku petunjuk. Tapi ingat, hanya bagi mereka yang bertaqwa.

Allah sudah berfirman : 
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah (ibadah) kepada-Ku".  
Adz-Dzariyaat:56

“Dan kami pasti akan menguji  kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah – buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang – orang yang sabar “       (Q.S Al Baqarah : 155)


Pada saat manusia menemui kematiannya, maka iapun terbangun dari tidurnya.
(Ali bin Abi Thalib, R.A.)